Yang Hidup dalam Mati,
Kurt Cobain
Suatu hari, sekitar 9 April 1994, di pulau
Kalimantan. Seorang kawan berangkat ke sekolahnya,
sebuah Sekolah Menengah Atas. Seperti pagi yang
biasa, ia berangkat bersama udara pagi yang berembun.
Tak ada yang istimewa.
Sesaat setelah memasuki gerbang sekolah, ia mulai
merasakan ada yang ganjil. Tiang bendera yang selalu
tegak kokoh di tengah lapangan seakan menjadi layu.
Tak ada suara-suara riuh-rendah remaja tanggung yang
biasa membahana di kelas-kelas SMA. Saat dilihatnya
kawan-kawannya, semua tampak lesu.
“Ada
apa sih? Kok semua lesu?” Dia bertanya pada seorang
kawannya.
“Kurt Cobain meninggal.”
Kawan saya langsung terkejut mendengar jawaban itu.
Tanpa sadar, ia pun terbawa pada situasi muram yang
baru ia sadari apa sebabnya.
Saya
mendengar pengakuan kawan saya itu setelah dia
berusia lewat 30 tahun, tahun lalu di Jakarta.
Menurut dia, kematian Kurt Cobain menyebabkan remaja
seusianya kehilangan idola. “Generasi waktu itu
seperti kehilangan orang yang diidolakan. Kami
generasi yang kacau, dan Kurt Cobain menyuarakan itu,”
kata dia.
Lake
Washington, tak jauh dari Seattle, Washington,
Amerika Serikat, 8 April 1994. Kabar itu datang dari
Gary Smith, seorang tukang listrik dari Veca
Electric. Gary menemukan jenazah di atap garasi
rumah yang dikunjunginya. Dari Gary, dunia
mengetahui seseorang yang berpengaruh terhadap
generasinya telah mati. Gary menemukan Kurt Cobain,
vokalis plus gitaris Nirvana –band yang digilai
nyaris seluruh anak muda di dunia saat itu.
Dalam pengakuannya, Gary tak melihat tanda trauma
atau depresi pada paras Cobain. Gary seperti melihat
Cobain sedang tertidur dengan darah yang mengucur
dari telinga. Berdasarkan hasil otopsi, diketahui
Cobain meninggal 5 April 1994 dengan meledakkan
peluru pistol di kepalanya.
Kita
tahu, jarak antara Seattle dan Kalimantan itu ribuan
mil. Kita tahu, bahasa dan ada orang Seattle berbeda
dengan orang Kalimantan. Kita tahu, Seattle dan
Kalimantan itu adalah hal yang jauh berbeda.
Pertanyaannya? Mengapa kepergian Cobain bisa membuat
muram anak-anak di SMA kawan saya di sebuah kota
kecil Kalimantan? Mengapa Cobain yang jauh itu bisa
begitu dekat dalam batin anak-anak di Kalimantan itu?
Lupakan dulu soal gaya berpakaian Kurt yang
bersahaja, lupakan dulu soal liarnya dia di panggung,
lupakan soal kharisma Kurt, lupakan segala soal yang
berada di luar musiknya bersama Nirvana. Sebagaimana
Chairil Anwar yang harus dinilai dari sajaknya
ketimbang kehidupan pribadinya yang eksentrik, kita
juga harus mencermati sekedar “musik” Kurt Cobain.
Masalahnya pula, menyelami musik Kurt Cobain dan
mencoba menelisiknya lewat literatur umum yang mudah
diperoleh di internet, tidak bisa tidak mengajak
kita kembali pada masa lalunya. Saya mencoba
memadatkan masa lalu Cobain. Mari simak:
Kurt
Donald Cobain lahir dari keluarga kelas pekerja pada
20 Februari 1967 di Grays Harbor Hospital, Aberdeen,
Washington. Ibunya, Wendy Elizabeth Fradenburg,
adalah seorang pelayan keturunan Kuba, Spanyol,
Irlandia, Jerman, dan Inggris. Sedangkan ayahnya,
Donald Leland Cobain, adalah seorang mekanik
otomotif keturunan Skotlandia, Irlandia, dan Prancis.
Nenek moyang Kurt hijrah ke daratan Amerika dari
County Tyrone, Irlandia Utara, pada 1875.
Kiri-Kanan: Kurt kecil,
Kurt remaja
Sejatinya, Kurt adalah bocah yang periang, bergairah,
dan peduli. Bakat sebagai musisi besarnya tampak
sejak usia delapan tahun. Ia juga senang menggambar
tokoh-tokoh film seperti Aquaman dan karakter
ciptaan Walt Disney seperti Donald Bebek, Mickey
Tikus, dan Pluto.
Guncangan pertama pada jiwanya terjadi pada usianya
9 tahun, saat ayah dan ibunya bercerai. Kurt berubah
drastis: menjadi pembangkang dan suka menyendiri.
Dalam sebuah wawancara pada 1993, Kurt menuturkan
perasaannya saat itu:
“I remember feeling ashamed, for some reason. I was
ashamed of my parents. I couldn't face some of my
friends at school anymore, because I desperately
wanted to have the classic, you know, typical
family. Mother, father. I wanted that security, so I
resented my parents for quite a few years because of
that.”
Dari
pengakuannya ini, tampaklah bahwa Kurt adalah orang
yang emosional dan penuh perasaan. Kasus perceraian
bukanlah hal baru di dunia ini, terlebih di negara
seperti Amerika. Ada banyak anak-anak korban
perceraian di dunia ini. Tetapi, Kurt tetaplah
seorang bocah biasa yang membutuhkan orang tua. Ia
membawa pengalamannya itu jauh ke dalam dasar
jantungnya.
Dalam kesunyian masa kanaknya, Kurt bergaul dengan
keluarga Kristen yang alim, keluarga teman mainnya,
Jesse Reed. Hidup di keluarga demikian, ia menjadi
anak yang saleh. Agama, memainkan peranan penting
dalam hidup Kurt, pun pada karyanya. Lagu
“Lithium” dari album Nevermind disebut-sebut
berkisah tentang keluarga Jesse yang religius.
Bahkan, nama “Nirvana” dicomot Kurt dari konsep
Buddhisme. Kurt menggambarkan konsep nirvana sebagai
“kemerdekaan dari rasa sakit, penderitaan, dan dunia
luar.” Penggambaran ini sejalan dengan etika punk
rock dan menjadi semacam ideologi.
Kajian pertama Kurt sebagai pemusik bisa dimulai
dari sini. Dengan melihat sosok Kurt melalui apa dia
tampil pada kita (televisi, internet, video,
literatur), kita bisa mengetahui bahwa Kurt adalah
sosok yang filosofis. Memang, setiap pemusik selalu
punya semacam “asumsi kebijaksanaan” saat memberi
nama band-nya. Namun cara Kurt memilih nama Nirvana
berikut menjelaskan konsep Nirvana menurut
pikirannya itulah yang menunjukkannya sebagai
seseorang yang khas.
Kiri-Kanan: Kurt
bersama Nirvana (tengah), Kurt di panggung
Selain memilih secara filosofis, Kurt pandai memilih
nama yang gampang didengar dan disebutkan. Nirvana
hidup dalam agama Buddha. Nirvana adalah kata dalam
bahasa sanskrit. Sanskrit adalah bahasa resmi di
India. Dan menyebut Nir-Va-Na tidaklah sulit bagi
orang Asia seperti Indonesia. Dengan demikian, dari
cara memilih nama, Kurt cermat membuat nama band-nya
akrab di telinga penduduk dunia.
Kembali ke kisah hidup Kurt. Setelah sempat hidup
bersama ayah dan ibu tirinya, Kurt tinggal bersama
ibunya mulai semester kedua pada tahun keduanya di
SMA. Dua pekan setelah ujian kelulusan, Kurt
dinyatakan tak lulus karena nilainya tak cukup.
Kepada Kurt, ibunya memberi dua pilihan: cari
pekerjaan atau pergi dari rumah.
Sepekan setelah itu, Kurt menemukan pakaian dan
beberapa barang pribadinya terbungkus dalam sebuah
kotak. Sejak itu, Kurt hidup menumpang dari rumah ke
rumah temannya. Sesekali ia menyelinap ke lantai
dasar rumah ibunya.
Dalam masa tuna wisma-nya, Kurt mengaku tinggal di
bawah jembatan Sungai Wishkah. Basis Nirvana, Krist
Novoselic, mengisahkan, “dia berada di sana, tapi
Anda tidak bisa hidup di pinggir sungai yang becek,
dengan air yang kadang pasang kadang surut. Itu
adalah revisionismenya (Kurt).” Pengalaman hidup di
bawah jembatan kelak dibukukan Kurt dalam sebuah
single di album "Nevermind", “Something in the
Way”.
Penghujung 1986, Kurt pindah ke sebuah apartemen
setelah memperoleh penghasilan sebagai pekerja di
Polynesian, sebuah resort pinggir pantai yang
berjarak 20 mil dari Aberdeen. Selama masa ini, Kurt
kerap mengunjungi Olympia, Washington, untuk
menyaksikan konser rock. Selama kunjungannya ke
Olympia, Kurt mengencani Tracy Marander, yang
disebut-sebut sebagai “girl” dalam single dari album
"Bleach" bertajuk “About a Girl”.
Lepas dari Marander, Kurt bertemu Tobi Vail, seorang
pengurus zine punk dan gitaris sebuah band bernama
Bikini Kill. Usai bertemu Vail, Kurt tergila-gila
pada gadis itu. Vail kelak menjadi inspirasi dalam
lirik “love, you so much it makes me sick,”
dari lagu "Aneurysm".
Kiri-Kanan: Tracy
Marander & Toby Vail (Pacar Kurt)
Bisa
dibilang, Vail adalah salah satu perempuan
terpenting dalam hidup Kurt Cobain. Bersama Vail,
Cobain merasakan kenyamanan “keibuan”. Vail adalah
intelektual yang dihormati sebagai pejuang gender
dalam komunitas punk. Kurt dan Vail menghabiskan
waktunya untuk mendiskusikan isu politik dan
filsafat. Vail disebut-sebut sebagai inspirasi
sebagian besar lirik pada album "Nevermind".
Suatu kali, Vail sedang mendiskusikan tema seputar
anarkisme dan punk rock bersama temannya Kathleen
Hanna. Vail menyemprotkan cat semprot di tembok
apartemennya. Semprotan itu membentuk kalimat yang
berbunyi: “Kurt Smells Like Teen Spirit”.
Hanna berkelakar, tulisan itu berarti Kurt menyukai
bau ketiak Vail. Sebab, Teen Spirit merupakan merek
deodorant Vail.
Kurt
peduli dengan tulisan itu dan menafsirkannya sebagai
slogan yang memiliki makna revolusioner. Dari
tulisan tembok yang disemprot Toby Vail itulah kini
Nirvana sampai pada kita sebagai Smells Like Teen
Spirit.
Saya
sengaja tidak memperpanjang kisah hidup Kurt.
Mengulang biografi Kurt hari ini adalah pekerjaan
sia-sia jika tak mempunyai data yang baru. Sebab,
ada banyak orang yang sudah mendalami Kurt.
Sebagaimana saya singgung di bagian pembuka tulisan
ini, membicarakan masa lalu Kurt hanyalah untuk
melihat Kurt sebagai pemusik.
Saya
menemukan satu kata, “intens”. Banyak orang, mungkin
banyak pemusik, lebih senang mengatakan “intenslah
dalam bermusik jika ingin sukses di musik.” Bagi
saya, Kurt bukanlah orang yang seperti itu, Kurt
memang intens, tapi intensitasnya terlebih dulu
bukan pada musik, tapi pada kehidupan.
Dari
sejarah masa lalu yang jejak-jejaknya dapat kita
temukan pada karya-karyanya, tampak Kurt begitu
dekat dengan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya.
Perceraian orang tuanya, pengalamannya di bawah
jembatan sungai Wishkah, hingga bertemu dengan
setiap perempuan dalam hidupnya, membekas pada
dirinya secara mendalam.
Menurut saya, Kurt tidak lari dari kehidupannya saat
mendekati musik. Kehidupannya yang ia jalani sejak
masa kanak hingga kematiannya itulah yang ia
ceritakan dalam musiknya. Dan Kurt berhasil! Itulah
sebabnya, dengan menyimak satu persatu lagu Nirvana,
kita seperti diajak menyusuri lika-liku kehidupan
Kurt. Kurt menyajikan siapa dirinya di dalam musik.
Dan memang demikianlah seharusnya pemusik!
Kurt
begitu dekat dengan lirik dan musik yang dikarangnya.
Seperti Friedrich Nietzsche, ia “tidak melarikan
diri” dari segala kenyataan hidupnya. Kurt malah
berjabat tangan dengan kehidupan, menantangnya,
menyelaminya, dan berhasil menampilkan kehidupan itu
dalam bakat terbesarnya. Kurt, adalah eksistensialis
yang menjadi juru bicara bagi generasinya.
Kurt
menggerakkan zaman. Kurt menjadi simbol keresahan
anak muda, terutama anak muda Amerika yang mengalami
masa lalu seperti Kurt. Karena kejujuran dan
kedekatannya dengan karyanya, ia pun dengan
sendirinya dekat dengan “kapitalisme” yang
mendekatkannya pada anak-anak muda di seluruh dunia.
Tentu saja, tak ada orang yang
ingin meniru kisah hidup Kurt. Makanya, sejak awal
saya menegaskan untuk membicarakan musik semata. Apa
yang perlu diambil dari Kurt adalah cara dia
memperlakukan hidup yang kemudian menjadi semacam
“imannya” dalam bermusik.
Bagi
siapapun yang percaya musik adalah bahasa universal
yang menghubungkan manusia antar benua, iman
“mendekati kehidupan” yang diterapkan Kurt dalam
musiknya, boleh menjadi ilham. Siapapun yang
mencintai musik, baik pemusik atau pun bukan, harus
mengembalikan musik pada kehidupan. Karena musik itu
adalah “sejenis” kehidupan yang tidak mungkin kita
tolak.
Jika
Kurt masih hidup, mungkin dia tak mau dianggap
serumit ulasan ini. Tapi, tugas manusia yang hidup,
adalah membaca jejak kebijaksanaan dari segala yang
sudah lalu. Pun kebijaksanaan itu diliputi tragedi
dan bunuh diri. Kurt, menurut saya, pantas
dimasukkan dalam masa lalu yang menjadi tugas
manusia yang hidup untuk membaca kebijaksanaannya.
Kurt
bunuh diri, dan mati, karena ia terlalu akrab dengan
kehidupannya.
Kiri-Kanan: Courtney
Love & Frances Fabian Cobain (istri & anak tunggal Kurt),
Catatan Kurt
Sebelum Bunuh Diri